Penggunaan indikator dan variable pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan pedesaan, dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut, indikator pembangunan akan bergeser kepada factor-faktor sekunder dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah indikator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indikator lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI).
Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indikator tersebut :
1. Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
2. Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manufaktur atau industri, dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak , kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
3. Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indikator pembangunan.
4. Angka Tabungan
Perkembangan sektor manufaktur atau industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
5. Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indikator makroekonomi tidak dapat memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian bayi akan dapat menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.
6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indikator pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indikator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai faktor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.
Kemiskinan
Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Pengertian lainnya Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian,
kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.
Menurut SMERU dalam Suharto, dkk (2004), adalah Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat Definisi menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan.
Menurut Depsos (2001), Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Menurut Friedman dalam Mudrajat Kuncoro (1997), Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial.
Basis kekuasaan sosial meliputi:
a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan),
b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit),
c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial),
d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa,
e) pengetahuan dan keterampilan, dan
f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Shrarp, et.al (1996) dalam Mudrajad Kuncoro (1997) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Teori ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse dalam Kuncoro (2000), yang mengatakan: “a poor country is poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin).
Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga kita dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu.
Rumus dalam penghitungan garis kemiskinan (Menurut BPS) ialah :
GK = GKM + GKBM
Keterangan :
GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKBM = Garis Kemiskinan Bukan Makanan
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
Konsep Kemiskinan
Ada tiga macam konsep kemiskinan (Sunyoto Usman, 2004), yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan subyektif. Konsep kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkrit (a fixed yardstick). Masing-masing negara mempunyai batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya dipastikan, konsep kemiskinan ini mengenal garis batas kemiskinan.
Konsep kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan “the idea of relative standard”, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan disuatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, dan kemiskinan pada suatu waktu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan semacam ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgement) anggota masyarakat tertentu dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep ini juga dikritik, terutama karena sangat sulit menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran kelayakan ternyata beragam dan terus berubah-ubah. Layak bagi komunitas tertentu boleh jadi tidak layak bagi komunitas lain, demikian juga layak pada saat sekarang boleh jadi tidak untuk mendatang.
Sedangkan kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a fixed yardstick, dan tidak memperhitungkan the idea of relatives standard. Kelompok yang menurut ukuran kita berada di bawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin atau sebaliknya. Dan kelompok yang dalam perasaan kita tergolong hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap seperti itu. Oleh karenanya, konsep ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya.
Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua ukuran pokok yaitu; distribusi ukuran, adalah besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi.
Dari dua definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya.
Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincoln Arsyad, 1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan di Negara Sedang Berkembang :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perkapita.
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (Capital Insentive), sehingga persentase pendapatan modal dari kerja tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi Negara Sedang Berkembang dalam perdagangan dengan Negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor Negara Sedang Berkembang.
8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.
…………………………………………………………………………………………………..
Ingin Download file lengkap dibawah ini…..silahkan dicopy-paste, tetapi cantumkan sumbernya dari blog ini dari bhianrangga.wordpress.com , dan sertakan daftar pustaka yang relevan
ANALISIS KESEJAHTERAAN SOSIAL
BDA full pdf
data
boyolali TPAK
hitungan acara 2